
(dengan tanda kutip besar) di daerah kami, tapi sebagai akibatnya, kini saya amat sangat menyesal. Bahkan atas nilai hasil ujian yang didapat tersebut pun, sungguh tak ada satupun rasa bangga saya disana. Terlebih jika ingat bahwa itu adalah satu-satunya episode SMA dimana saya mencontek, setelah selama tiga tahun lamanya saya bertahan dalam sebuah komitmen untuk tidak mencontek selama ujian!
Pasca momen tersebut (yang hanya sekali), saya benar-benar sangat menyesal, dan sebagai imbasnya, saya tak pernah lagi kompromi soal contek mencontek. Dan selama kuliah, Alhamdulillah tak sekalipun saya mencontek ketika ujian. Saya lebih memilih mendapat nilai jelek tapi itu hasil kerja sendiri, daripada nilai bagus hasil mencontek. Jadilah saya orang yang memilih “walkout” dini ketika ujian karena memang tidak bisa mengerjakan, dan terkadang juga memilih ”tinggal kelas” sebagai peserta ujian yang terakhir keluar karena lambat memikirkan sendiri jawaban ujian.
Saya pun bersyukur, bahwa saya ternyata tidak sendirian. Dahulu ketika SD adakalanya ketika tidak mau memberi contekan, saya sering diancam ini itu oleh beberapa “jagoan” kelas. Ketika SMA, syukurlah sudah tak ada lagi hal-hal tersebut. Alhamdulillah meski ketika SMA sampai kuliah, ada teman yang “berkompromi” saat ujian, namun ketika saya tidak mau macam-macam seperti itu, Alhamdulillah mereka mengerti.
“dan Saya memang tak pernah peduli jika dibilang pelit, sok suci, atau semacamnya, integritas memang bernilai mahal bagi yang memilikinya”
Di kuliah, Alhamdulillah saya dipertemukan pula dengan orang-orang yang serupa. Orang-orang yang tak mau berkompromi, baik mencontek ataupun dicontek. Di kelas saya memiliki sahabat dekat (Adib) yang memiliki prinsip yang sama, di organisasi pun saya memiliki sahabat-sahabat yang semua berprinsip untuk tidak mencontek, ada Mahatir, mas Bayhaq, dan ikhwah-ikhwah lain tentunya. Meskipun memang ada pula dari teman-teman kuliah lain yang adakalanya “berkompromi” saat kondisi memungkinkan.
Dan Alhamdulillah pula, ketika kini Allah pun mempertemukan saya dengan seorang istri yang sejak dulu memiliki prinsip sama pula. Anti mencontek. Lebih baik jelek hasil sendiri, daripada bagus hasil mencontek. Mertua saya pernah bercerita, bahwa istri saya ini pernah ikut sebuah seleksi pra Olimpiade sains, ketika seleksi tersebut, teman-temannya banyak yang mencontek. Istri saya ini memilih tidak mencontek. Hasilnya bisa ditebak memang, istri saya tidak lolos sedangkan teman-temannya yang mencontek, justru lolos seleksi pra olimpiade sains. Namun bukannya sedih, Istri saya waktu itu justru berkata begini,”kasihan orang tuanya, dibohongi oleh anaknya sendiri” (maksudnya kasihan orang tuanya, bangga pada prestasi anaknya, padahal prestasi tersebut hasil mencontek/curang).
Ah, terus terang saja, agaknya memang “mencontek” adalah penyakit pelajar sekarang ini. Ketika SD ada teman-teman saya yang mencontek, ketika SMP, ternyata banyak juga yang mencontek, di SMA, bahkan di kuliah pun sama saja. Saya katakan pelajar, karena penyakit ini menjangkit tak hanya kalangan anak SD-mahasiswa, bahkan guru-guru yang seharusnya memberi contoh yang baik, justru ada yang mencontek ketika mereka ujian. Agaknya contek-mencontek sudah menjadi “budaya wajib” setiap pelajar yang ingin mendapat nilai bagus, tak peduli ia pelajar pintar ataupun bodoh.
Yang “tak terlalu pintar” mencontek karena ingin mendapat nilai bagus, yang pintar mencontek pula karena khawatir nilainya kalah dengan yang “tak terlalu pintar”.
Asal pengawas lengah, pengawas tak lihat, pengawas tak tahu, maka menconteklah untuk mendapat hasil “maksimal”. Beragam cara pun digunakan, yang sederhana melihat teman sebangku. Kalau “si pintar” agak jauh, dibukalah permainan lempar bola kertas. Ketika muncul teknologi Handphone, sms saja jawabannya. Kalau kondisi lebih memungkinkan, “mengukir meja”, buka buku, buat catatan-catatan kecil, dan semacamnya.
Maka menjadi sebuah peraturan tak tertulis dibenak setiap pelajar, -mengutip kata seorang guru saya- “Boleh mencontek asal tidak ketahuan“.
Tapi tak urung, urusan contek mencontek ini memang membuat saya paling miris. Saya terkadang membayangkan, apakah orang-orang besar dahulu semacam Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, Soekarno, Natsir, Hatta dll apa mereka pernah mencontek ya ketika ujian? wallahu alam…

“Ah, jangan heran jika di Indonesia banyak koruptor, kalau kecilnya di sekolah kita sudah terlatih untuk ‘korupsi’ ketika ujian.”
Bagi saya, ini “wajar” terjadi karena sejak kecil kita diajarkan untuk lebih ber-orientasi pada nilai akhir, kita di’tuntut’ untuk mendapatkan prestasi, sementara prestasi identik dengan nilai ujian, dengan nilai rapot. sementara nilai-nilai proses “mendapatkan nilai” lebih banyak dikesampingkan.
Saya yakin tak banyak orang tua (dan bahkan guru) yang mengajarkan kepada anaknya “tak mengapa kamu dapat nilai jelek tapi itu hasilmu sendiri, daripada nilai bagus hasil mencontek”. Yang sering adalah nilai jelek dimarahi, nilai bagus dipuji. Atau tak jarang pula ada orang tua yang tak perhatian pada sekolah anaknya, sehingga “nilai bagus” pun dijadikan si anak untuk mendapat perhatian dan pujian ayah bundanya, dan tak ada cara instan mendapat nilai bagus selain dari mencontek. Saya katakan TAK BANYAK, namun bukan berarti tak ada. Semoga saja Anda pembaca memiliki orang tua, atau menjadi orang tua yang “tak banyak” tersebut.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya kesadaran keimanan pelajar kita saat ini. Di sekolah kita lebih diajarkan menjadi orang yang tahu ilmu agama, daripada menjadi orang yang beragama dengan sebenarnya. Di sekolah umum, kita hanya mendapatkan pelajaran agama sekali setiap pekan, itupun tak banyak yang mengena esensinya. Di kuliah tambah parah, untuk universitas umum seperti di kampus saya, pelajaran agama hanya satu semester selama total masa studi. Andai tak ada program-program keislaman macam mentoring, rohis, dan semacamya, tentu makin rusak saja akhlak pelajar kita nanti.
“Kalau seseorang itu benar-benar keimanannya, tak mungkin ia mencontek meski tak ada pengawas ujian, karena ia selalu yakin bahwa Allah senantiasa mengawasi “
Jangan terlalu berharap pada pelajaran macam PPKn, budi pekerti, dan semacamnya. Bagi saya, tetap kesadaran akan “Yang Maha Mengawasi”, tetap yang paling dibutuhkan. Orang yang memiliki integritas sekuat apapun, tetap saja rawan kompromi. Bagi saya, Integritas sebenarnya dihasilkan dari keimanan yang sebenarnya pula. Integritas yang tak didasari keimanan, adalah integritas yang rapuh, yang rawan kompromi di kemudian hari. Saya jadi ingat beberapa hari yang lalu ketika saya dan rekan-rekan rohis lainnya ujian Tatsqif, tak ada satupun yang contek mencontek meski pengawas sering keluar.
Agaknya tak hanya saya yang bermasalah dengan urusan contek mencontek. Beberapa hari yang lalu istri saya ‘mengadu’ kepada saya. Pasalnya dalam sebuah UAS yang ia ikuti, di sebuah mata kuliah yang terbilang sulit, petugas penjaganya justru keluar ruangan, dan menutup pintu. Alhasil bisa ditebak, seluruh teman-temannya mencontek semua. Hanya istri saya saja yang tetap komitmen tidak mencontek, dan istri saya tidak bisa mengerjakan soal tersebut. Beliau mengadu sambil sangat khawatir, bagaimana kalau-kalau nilainya jelek, mengingat tentulah semua temannya akan mendapat nilai ujian yang bagus. Beberapa hari kemudian beliau lagi-lagi ‘mengadu’, mengingat beliau harus menambah semester untuk mengulang mata kuliah yang kurang bagus. Dan beliau khawatir bahwa ia tak punya teman di semester-semester akhirnya. Dan kini beliau pun seolah ‘protes’ mengingat selama ini teman-temannya banyak yang mencontek, sehingga dapat nilai bagus, sehingga pula tak perlu mengulang mata-mata kuliah sulit di semester depannya.
Setelah saya dengarkan, saya sampaikan kepadanya sebuah peneguhan singkat, bahwa untuk apa iri kepada orang mencontek? Mereka menipu orang tua mereka, memberikan hasil seolah-olah anaknya pintar, padahal sama sekali tidak. Mereka pun menipu orang-orang sekitar, dengan nilai bagus seolah menjadi orang pintar, padahal “pintar” hasil mencontek. Dan yang paling parah, Mereka sebenarnya menipu diri mereka sendiri.Bahkan yang paling saya khawatirkan, bahwa nilai-nilai yang mereka dapatkan dari hasil mencontek tersebut, tak akan barakah sama sekali
Ah, saya bangga dengan komitmen istri saya untuk tidak mencontek.

Ngomong-ngomong, soal contek mencontek, saya paling ingat jaman-jaman jahiliah saya ketika SMP. Waktu itu kalau tak salah saya kelas 3 SMP (ini masih masa jahiliah saya sebelum berubah seperti sekarang). Waktu itu saya masih ingat benar, di pelajaran Agama, ketika guru memberikan ujian, guru tersebut selalu meninggalkan ruang kelas setelah memberikan soalnya. Alhasil, semua anak langsung mencontek. Mengingat waktu itu, soal yang diberikan si guru memang membutuhkan jawaban yang berpanjang-panjang. Sepintar apapun anaknya, rasanya mustahil menjawab semuanya, karena ya itu, jawabannya sangat banyak. Saya pun termasuk dalam orang-orang yang mencontek waktu itu, mengingat ya memang itu masa-masa jahiliah saya, saat belum mengenal Islam seperti sekarang. Ketika itu, saya ingat benar, ada seorang dari teman saya (insya Allah namanya Maher) yang tidak mencontek sama sekali. Saya hafal betul, bahwa setiap ujian agama, setiap si guru meninggalkan kami, dan setiap seluruh kelas membuka buku (mencontek), hanya beliau yang berkomitmen untuk tidak membuka buku. Alhasil, ketika seluruh dari kami sudah selesai mengerjakan (karena memang hanya menyalin dari buku), kawan saya ini paling akhir mengumpulkannya. Dan ketika dibagikan nilai hasil ujian, sering beliau mendapat nilai yang dibawah rata-rata. Tapi satu hal yang saya ingat betul, tak ada rasa iri ataupun benci kepada kami, maupun rasa sesal di wajahnya. Ah, memang kejujuran dan integritas adakalanya berasa pahit, tapi yang pahit itu selalu membawa senyum dan kebanggaan bagi pemegangnya. Alhamdulillah ketika SMA saya tersentuh oleh Islam, mulai ikut rohis dan macam-macam, dan saya pun komitmen untuk tidak lagi mencontek.
Kini saya yakin bahwa orang tua (mungkin) hanya melihat hasil nilai ujian kita,tapi saya yakin bahwa Allah lebih melihat nilai kejujuran kita ketika ujian. Tinggal pertanyaannya, lebih takut kepada Allah ataukah lebih takut kepada manusia kah kita??
Jadi Masihkah Anda (berani) mencontek??
Sumber: http://tts.web.id/?tag=jangan-mencontek
0 komentar:
Posting Komentar
1. Jika Anda ingin berkomentar dengan menggunakan Account E-Mail Anda, silahkan pilih Profile E-Mail
2. Jika Anda ingin berkomentar dengan menggunakan Nama dan URL Anda, silahkan pilih Name/URL
3. Jika Anda ingin berkomentar tanpa diketahui nama Anda, silahkan pilih Anonymous