02-02-2012
Tanbihun.com-
Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya,
itu memang fakta. Kita pun belum pernah menjumpai suatu hadits yang
menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli
sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara
peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita
belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para
tabi`in dan tabi`it tabi`in.
Menurut Imam As-Suyuthi dalam Husnul
Maqoshidnya, orang pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah
saw ini dengan perayaan yang meriah luar biasa adalah Raja Al-Mudhaffar
Abu Sa`id Kukburi ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (l. 549 H. – w.630 H.)
(lihat Husnul Maqoshid fi amali maulid, 6). Tidak kurang dari 300.000
dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari
peringatan maulid ini. Intinya menghimpun semangat juang dengan
membacakan syi’ir dan karya sastra yang menceritakan kisah kelahiran
Rasulullah SAW.
Imam as-Suyuthi mengatakan ketika menjawabi pertanyaan tentang hukum perayaan maulid Nabi SAW:
وَالجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ المَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَأَةُ مَاتَيَسَّّرَ مِنَ القُرْآنِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَأِ أَمْرِالنَّبِيّ صَلَّّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ مَاوَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الاَياَتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَالِكَ مِنَ البِدَعِ الحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيْ صََلََّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِالفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
Menurut saya asal perayaan maulid Nabi
SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan
Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian
dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang.
Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah
hasanah(sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena
mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan
atas kelahiran Nabi Muhamad saw yang mulia. (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252, juga dalam Husnul Maqoshid, h 5)
Meskipun tidak pernah dilakukan Nabi,
namun perayaan Maulid memiliki landasan, baik dari Al-Qur’an maupun
Hadits serta tidak bertentangan dengan sumber-sumber hokum Islam,
sehingga masuk dalam kategori bid’ah hasanah. Adapun landasannya antara
lain :
- Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah
dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ ” (QS.Yunus:58).
Sementara kita tahu bahwa
Rasulullah Saw adalah Rahmatan Lil alamin. Maka sudah selayaknya lah
apabila kita bergembira dengan kelahirannya.
- Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم
“Dari Abi Qotadah al-Anshori RA
sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin.
Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu
diturunkan kepadaku.” (H.R. Muslim)
- Rasulullah menganjurkan umatnya untuk berpuasa asyura’ karena pada hari itu Musa diselamatkan oleh Allah dari Fir’aun, Nabi bersabda dalam riwayat Imam Bukhori dan Muslim :
Sesungguhnya ketika Rasulullah Saw
datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi puasa pada hari
Asyura’. Kemudian beliau bertanya kepada mereka, hari apakah yang kalian
puasai ini ? mereka menjawab, ini adalah hari yang agung, Alloh telah
menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari ini dan Alloh juga
menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya pada hari ini, maka Musa lalu
berpuasa sebagai tanda syukur, maka kamipun berpuasa. Dalam riwayat lain
dalam Bukhori Muslim “ maka kami berpuasa karena memuliakannya.” Maka
Nabi Saw bersabda,” Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap apa yang
dilakukan Musa dibanding kalian semua.
Imam Suyuthi berkata, dalil ini lah yang digunakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajjar sebagai dasar disyariatkannya Maulid.
Ibnu Hajjar dengan pemahaman Hadits dan agamanya yang luas telah mampu
menemukan dalil yang kuat untuk menetapkan masyru’nya perayaan maulid.
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid’ah adalah adanya pengkhususan (takhsis)
dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang
hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu
di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan
cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut
tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut
tidak ada landasan dari syar’i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).
Hal ini berbeda dengan penempatan waktu
perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang
melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan
hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal,
maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda
selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.
Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar’i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).
Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah
diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk
beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar
bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan
jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana
(HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan:
“Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan
mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan
dilakukan terus-menerus”.(Fathul Bari, 3/84)
Di antara orang yang mengatakan maulid
adalah bid’ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi,
sahabat atau kurun salaf. Yang pertama kali menggunakan jargon ini
adalah Ibnu Taymiyah, dia mengatakan ,” seandainya hal itu baik pastilah
mereka ( salaf ) sudah mengerjakannya, karena mereka lebih mencintai
Rasul dibanding dengan kita.” ( Iqthidho Shirothil Mustaqim, 2/619),
tapi kelihatannya Ibnu Taymiyah sendiri inkonsisten dalam hal ini, sebab
dalam Majmu’ Al fatawa, pada pembahasan Masuk ke kamar mandi, beliau
berkata,” tidak ada seorangpun yang berhujjah makruhnya masuk kamar
mandi atau tidak sunnahnya masuk ke kamar mandi dikarenakan Rasulullah
tidak pernah memasukinya. ( sampai perkataan ) karena adamul fi’li
(tidak dikerjakannya sebuah amalan) itu merupakan salah satu dari dalil
syari’ah. Lebih lanjut Ibnu Taimiyyah berkata, menafikan suatu kesunahan
karena tidak adanya dalil yang menjelaskan secara khusus tanpa melihat
pada dalil-dalil yang lain adalah kesalahan fatal.( Majmu’ Al fatawa,
21/313). Ketika beliau bisa berkomentar seperti itu pada kasus masuk
kamar mandi, kenapa beliau tidak mau melakukan hal yang sama pada kasus
maulid ?. Tidak adanya contoh dari salaf tentang maulid dan tidak adanya
dalil yang menjelaskan secara khusus bukan berarti meniadakan
kesunahannya, bahkan wajib untuk meneliti dalil-dalil yang lain.dan
ternyata Ibnu Hajjar Al-Asqolaniy berhasil mengkaji dan menemukan
dalil-dalil maulid itu”
Al Hafidz Assuyuthi memberikan jawaban
yang bagus tentang masalah ini (yakni maulid tidak dilakukan oleh salaf
), beliau berkata: “sesungguhnya tidak dikerjakannya suatu amalan oleh
salaf itu berarti sukut ( diam ). Dan juga tidak pernah ada larangan
dari mereka untuk mengadakan perayaan. Dan sukut itu dijadikan hujjah
ketika tidak ada dalil. Dan ketika ada dalil yang menetapkannya ( lebih
dalil qauliy yang telah dinukilkan oleh Ibnu Hajjar di atas), maka dalil
yang menetapkan itu didahulukan atas sukut.( Bayanun Nabawiy, DR Mahmud
Ahmad Zein, 12 )
Jika demikian, maulid Nabi adalah amalan
yang baik, dan akan diberikan pahala bagi siapapun yang melakukannya
dengan niat mencintai Nabi, sepanjang perayaan tersebut tidak terdapat
suatu kemungkaran.
Sumber : http://tanbihun.com
0 komentar:
Posting Komentar
1. Jika Anda ingin berkomentar dengan menggunakan Account E-Mail Anda, silahkan pilih Profile E-Mail
2. Jika Anda ingin berkomentar dengan menggunakan Nama dan URL Anda, silahkan pilih Name/URL
3. Jika Anda ingin berkomentar tanpa diketahui nama Anda, silahkan pilih Anonymous